Berikut ini adalah salah
satu karya dari saya dan teman saya
Nebula Dalam 2 Mei
Ini hanyalah sebuah kisah sederhana. Kisah seorang
anak manusia yang berusaha menyelami arti makna dari sebuah opera panjang yang
bernama kehidupan. Dimana Sang Sutradara Kehidupan-lah yang Berkuasa dan
Menentukan jalan ceritanya.
Ini hanyalah kisah sederhana. Kisah tentang arti makna
perjuangan, yang sebagaimana tak akan pernah habis, hingga ajal mejemput.
Ini hanyalah kisah sederhana. Kisah seorang anak
manusia, yang berusaha untuk menjadi bintang yang bersinar paling kuat diantara
lainnya. Namun tanpa orang lain tahu, bintang yang paling
bersinar diantara lainnya, memancarkan energi lebih banyak. Sehingga harus
lebih dulu meredup dan bersiap menjadi nebula.
***
Pagi ini datang terlalu cepat, seakan bel pengingat
masa lalu itu pun berdentang. Seperti tahun-tahun yang lalu, aku belum siap menghadapinya. Dan mungkin akan selalu tidak siap. Kupaksa berdiri dari kasur, memasuki kamar mandi dan
bersiap untuk berangkat. Hari ini akan menjadi hari yang berat, kupaksakan.
Seorang wanita yang
sedang sibuk di dapur, menoleh atas kehadiranku
“siap untuk hari ini?”
Aku tersenyum “kita sudah melewati hari ini
bertahun-tahun..”
Dia membalas senyum “mungkin..”
Aku hanya membalasnya
dengan tersenyum, lantas bergegas membenahi diri.
Hari ini adalah hari pendidikan nasional, seperti sekolah-sekolah lainnya,
hari ini diawali dengan upacara sebagai peringatan. Setelah selesai, aku bergegas menuju kelas yang akan ku ajar.
“Selamat pagi anak-anak” sapaku dengan ceria,
seperti biasanya.
“Pagi paaaak” jawab mereka serentak, tak kalah ceria nya
denganku. Kata murid-muridku, aku adalah salah satu guru yang mereka kagumi. “Belajar apa kita hari ini?” tanyaku, karena materi
semester ini habis lebih cepat.
“bukannya semua materi sudah habis pak? ” kata Gracia salah satu muridku.
Aku merengut sejenak,
menimbang-nimbang. “Hmm bagaimana kalau kita belajar tentang arti kehidupan?” Aku bisa mendengar
sebagian murid-muridku bersorak sambil merapikan tempat duduknya untuk
mendengarkan ceritaku, sebagian juga ada yang menggeram bosan. Sementara, mataku membuta. Terlihat siluet-siluet dimana kenangan
pahit dan manis berkelebat dan mulai mengingat-ingat
lembaran-lembaran perkamen tua yang di sebut masa lalu. Dan buku biru itu
seakan terbuka lebar-lebar dalam benakku...
***
1
Januari, 1995
Aku menyandarkan
punggungku ke sandaran kursiku. Sesekali, aku mengulangi membaca sambil
menimbang-nimbang surat tawaran kerja yang sedang ku pegang. Aku masih sedikit ragu
dengan tawaran itu,
melihat kondisi kesehatanku belakangan ini.
Ditambah lagi, aku harus menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarku. Dan
belum tentu, mereka menanggapiku dengan positif.
Aku menghela nafas
pelan. Ya sudahlah tak apa, aku memutuskan sendiri dalam hati. Lagipula, hanya
sampai kenaikan kelas, bukan? Tak apa, hanya 1 tahun. Dan semoga saja
waktuku cukup..
*
Akhirnya, waktuku untuk
memulai pengajaran telah tiba. Dengan semangat yang menggebu-gebu, kulajukan
sepeda buntutku ke sekolah tempatku mengajar. Aku sedikit gugup karena ini adalah
pengalaman pertamaku sebagai wali kelas. Jadi, bagaimanapun caranya, aku harus
bisa merubah anak didikku menjadi lebih baik. Bagaimanapun mereka.
Tunggu dulu.
Bagaimanapun mereka? Yah, semoga mereka tidak menyusahkanku.
15 menit perjalanan, aku sudah sampai di pintu gerbang
sebuah Sekolah Menengah Atas. Kelas X1 IPA-3, yaitu kelas yang akan menjadi
kelasku mengajar, dengar-dengar adalah kelas dengan rata-rata terburuk dan
mayoritas murid yang malas. Mungkin ini adalah sebuah cobaan. Sambil
berjalan menuju kelas XI IPA-3, aku terus-terusan memikirkan semua kemungkinan
terburuk yang akan terjadi.
Setelah sampai di depan
kelas, kulangkahkan kakiku untuk masuk kedalam kelas. Kelas yang tadinya sangat
riuh, tiba-tiba hening sejenak. Semua bola mata itu tertuju kearahku. Tatapan
mereka seakan menggambarkan tanda tanya besar.
Ku edarkan pandanganku
ke seluruh penjuru kelas. Bola mataku menyipit dan terfokuskan ke seorang murid
laki-laki yang sedang duduk diatas meja sambil mendengarkan musik dengan headset yang terjuntai dari kedua telinganya. Kulangkahkan kakiku untuk masuk ke
kelas dan menaruh tumpukan buku diatas meja guru.
"Selamat pagi anak-anak,” sapaku sedikit berusaha ceria. Namun, hanya angin berdesau yang menjawab
sapaanku. “Nama saya Shanindya Naura
Shalika. Kalian bisa panggil saya bu Shanin. Saya guru sekaligus wali kelas kalian
yang baru. Semoga kalian bisa
berkerja sama dengan saya dan menerima saya dengan baik disini" hanya ada
tatapan heran dan kudengar beberapa murid
mulai berbisik-bisik tentangku. Aku melengos pelan, lalu kembali sibuk dengan menata buku-bukuku yang tergeletak
sembarang diatas meja guru.
Setelah merapikan meja
dan hendak memulai pelajaran, kulirik lagi murid laki-laki yang dengan santainya masih duduk diatas meja. Aku menatapnya heran. "Hei kamu yang duduk diatas meja! kamu tidak tau? saya ada disini, guru kamu sekarang! Kenapa kamu tidak kembali ke tempat dudukmu agar kita mulai
pelajaran ini?"